Minggu, 03 September 2017

Sejarah Emali dalam Konteks Nias



Nama              : Welianus Gea         
Sem/Jur          : VI Teologi
Mata Kuliah  : Seminar Ilmu Agama
Dosen             : Pdt. Juliman Harefa, Th.M
EMALI DALAM PANDANGAN ORANG NIAS
   A.    Pendahuluan
            Hal yang paling menakutkan bagi orang Nias pada zaman dulu adalah emali. Emali dalam  konsep orang Nias adalah pemburu kepala manusia atau sering disebut dengan “sangai binu”. Emali atau sangai binu ini ditakuti oleh masyarakat karana pekerjaan yang dilakukan tersebut adalah bukan hanya sekedar mencuri manusia, tetapi orang yang mereka curi tersebut dipenggal kepalanya dan kepala tesebut dijadikan sebagai pendamping terhadap orang yang meninggal, dan juga dijadikan sebagai sebuah syarat bagi pemuda yang ingin menikah, artinya bahwa ketika seorang laki-laki hendak menikah, jujuran yang diberikan oleh laki-laki tersebut adalah sebuah kepala musuh.
   B.     Pembahasan
Menurut bapak Pastor Johanes M. Hammerle dalam wawancara mengatakan bahwa dalam mengenal sejarah tentag emali/sangai binu, tidak terlepas dari mengenal tentang silsilah orang Nias itu sendiri. Pada zaman dulu, ada tiga golongan yang sudah datang di Nias, dan sekaligus mereke disebut sebagai leluhur masyarakat Nias,[1] yaitu:
Lani Ewöna
Lani Ewöna adalah salah satu leluhur Nias yang berimigran dari Yunan, negara Cina Selatan. Lani Ewöna telah menikahi Ono Mbela dan Nadaoya[2]. Namun, jika dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat inilah yang mengatakan bahwa leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama.
Setelah beratus-ratus tahun, bahkan bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Lani Ewöna memiliki banyak anak, diantaranya adalah Orang-orang Gunung Sitoli yang merupakan keturunan manusia dari Börönadu yang bernama Lase, dan juga nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang dari Börönadu yang bernama Sadawamölö. Selain itu keturunannya yang lain adalah seperti Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.
Sejak proses persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antar sesama orang Nias. Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena secara geografis Börönadu memang terpencil.
Setelah peristiwa tersebut, persaingan antar marga semakin kuat dan atmosfirnya masih terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah
Sejarah Emali
Tradisi mangai binu atau sebutan  emali tidak dapat dipisahkan dari legenda Awuwukha, sosok manusia yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-14 M. Cerita tentang Awuwukha adalah sebagai berikut
Kira-kira pertengahan abad ke-14, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Awuwukha adalah keturunan dari Lani Ewöna yang tinggal di Börönadu.[3]
Pada suatu hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut berhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa kamu teriak-teriak seperti itu?” teriak perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu.
Selang beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri mematung-- terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya-- Awuwukha bersumpah akan menuntut balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian dengan langkah tenang Awuwukha pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.
            Dugaan Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias. Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.[4]
            Sebelum meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya. Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang, dan satu orang sebagai tukang pijat .[5] Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan. Sebab, mangai binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias. Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya, misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias).
Bahkan, tradisi mangai binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat.[6] Interkoneksi antara kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi mangai binu di Nias.
Berbicara tentang tradisi mangai binu di Nias terasa belum lengkap jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu dipersembahkan.
            Selain itu, menurut P. Johannes M. Hammerle mengatakan bahwa pandangan orang Nias mengenai emali juga disebutkan kepada orang yang membeli manusia. Dulu, menurut Pastor, ia mengatakan bahwa pada masa pemerintahan kolonial Belanda memasuki Nias, orang-orang Nias memperdagangkan sesamanya orang Nias. Hal ini terjadi ketika ada sesamanya yang memiliki utang terhadap orang Nias tersebut, karena tidak sanggup membayar utangnya, terpaksa ia sendiri atau anaknya sendiri yang akan menjadi pelunasan terhadap utang tersebut. Pada saat itu, di Nias terkenal yang istilah ribah uang, makanya hampir semua mereka yang memiliki utang tersebut tidak sanggup lagi melunasi utangnya oleh karena besar bunga uangnya. Oleh karena itu, terpaksa orang yang memiliki utang tersebut menjadi budak terhadap orang yang meminjamkan uangnya kepada orang yang meminjam tersebut. Namun, karena tawaran yang cukup mahal dari orang-orang Belanda, yaitu diberikan sebuah Piring yang ada gambar naga, atau dengan memberikan firö kepada mereka, sehingga muncullah dalam hati orang Nias untuk menjual orang yang memiliki utang tersebut dengan mereka orang Belanda.
            Menurut kesaksian Pastor, pada tahun 1830, di Penang di sebelah utara Malaysia, terdapat 30 orang Nias yang telah memeluk agama Katolik. Orang-orang tersebut mengaku bahwa mereka adalah korban dari emali, emali yang dimaksud adalah mereka yang telah membeli para budak tersebut kepada majikannya di Nias. Dalam kesaksian Pastor, ia mengatakan bahwa 100 tahun yang lalu hampir semua penduduk yang tinggal disebelah utara pulau Nias ini telah musnah, terutama mereka yang bermarga Baeha. Alasannya adalah mereka telah di beli oleh emali.[7]
            Menurut Tuhoni Telaumbanua dalam materi perkuliahan tentang Injil dan budaya, ia mengatakan bahwa emali (yang mebeli manusia) telah dimulai sejak abad ke-4 M. Sistem dagang yang dilakukan adalah dengan mengunakan sistem barter, artinya bahwa orang Nias memperdagangkan sesamanya kepada suku luar Nias, yaitu suku Baroos. Kemudian, pada abad ke-9 M, pedangan dari Persia pernah datang ke Nias untuk membeli manusia. Dalam materi tersebut, ia menjelaskan bahwa sejak abad ke-11 M, telah mulai ada perdagangan dengan memakai sistem barter oleh suku Baroos, Minang, dan suku Aceh. Mereka hendak membeli orang-orang yang hendak dijadikan menjadi budak di luar Negri. Pada tahun 1669, Belanda telah mengikat sebuah hubungan dagang kepada para Salawa atau Balõzi’ulu di Tanõ Niha (Nias) untuk menjalin kerjasama, sehingga orang Belanda mendapatkan orang-orang yang diualkan kepada mereka.[8] Oleh sebab itu, semua mereka yang membeli manusia itu diberikan julukan sebagai emali.
C.    Analisis
Emali dalam pandangan Nias ialah ada dua macam yaitu pemburu kepala dan yang membeli manusia dari daerah lain. Hal inilah yang ditakut-takuti oleh orang Nias pada zaman dahulu. setalah masuknya agama Kristen di Nias, pemburu kepala dan orang yang melakukan perdagangan manusia mulai menipis.
Dalam ajaran Kristen, emali adalah sebuah larangan yang dilarang oleh agama, terutama agama Kristen. Jelas bahwa dalam hukum taurat ke-6, mengatakan bahwa jangan membunuh, terutama larangan ini merujuk kepada emali yang memburu kepala manusia. Demikian juga dengan tradisi menjual manusia sebagai budak di luar daerah, kebiasaan tersebut juga dilarang keras dalam Alkitab, karena yang ditekaknkan dalam alkitab adalah bagaimana kita saling mengasihi sesama manusia, bukan menjualnya sebagai barang yang dapat dibayar dengan benda atau uang, melainkan manusia adalah sabagai ciptaan yang mulia di seluruh ciptaan yang lain.
 Namun, walaupun pemburu kepala dan perdagangan manusia tidak ada lagi di Nias, tetapi kejahatan manusia masih merajalela untuk menjatuhkan sesamanya, buktinya bahwa masih ada kasus-kasus pembunuhan antar sesama sampai saat ini. Inilah yang menjadi pergumulan  kita sebagai calon hamba Tuhan, bagaimana kita kedepan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, sehingga dampak emali lagi tidak ada di Nias ini.
D.    Penutup
Dari penjelasan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa tradisi emali yang telah berkembang di Nias sebelum masuknya injil di pulau Nias ini adalah sebuah tradisi yang mengemparkan dan menakutkan hati masyarakat Nias. Mereka kuatir ketika mendengar bahwa salawa terutama di Nias Selatan telah meninggal dunia, atau takut ketika mendengar ada pembangunan rumah di kalanan Nias Selatan, karena yang menjadi korban adalah masyarakat di luar daerah Nias selatan. Namun, setelah masuknya injil di Nias, tradisi emali tersebt mulai berkurang.
              
DAFTAR PUSTAKA
Duha, Nata’alui., Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Nias (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2008)
Hammerle, Johannes M., Asal-Usul Masyarakat Nias  (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2001)
Sonjaya, Melacak Batu, Menguak Mitos Antar Budaya Nias (Jakarta: Kanisius, 2008) 
            Zebua, Fiktor., Jejak Cerita Rakyat Nias, (Jakarta: Kompas Indonesia), 2008
Hasil studi banding di Museum Pusaka Nias tanggal 25 Januari 2017 oleh P. Johanes M. Hammerle.
Materi perkuliahan oleh Pdt. Tuhoni Telaumbanua, dalam mata kuliah Injil dan Budaya di STT BNKP Sundermann, tahun 2017.



[1] Berdasarkan hasil studi banding di Museum Pusaka Nias tanggal 25 Januari 2017 oleh P. Johanes M. Hammerle.
[2] Nata’alui Duha, Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni Nias (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2008)
[3] Sonjaya, Melacak Batu, Menguak Mitos Antar Budaya Nias (Jakarta: Kanisius, 2008)
[4] Fiktor Zebua, Jejak Cerita Rakyat Nias, (Jakarta: Kompas Indonesia), 2008
[5] Sonjaya, Op. Cit.
[6] Johannes M. Hammerle, Op. Cit
                [7] Berdasarkan hasil studi banding di Museum Pusaka Nias tanggal 25 Januari 2017 oleh P. Johanes M. Hammerle.
                [8] Materi perkuliahan oleh Pdt. Tuhoni Telaumbanua, dalam mata kuliah Injil dan Budaya di STT BNKP Sundermann, tahun 2017.

Tidak ada komentar:

GERAKAN ZAMAN BARU: AGAMA MASYARAKAT POST MODERN 1.       Pendahuluan Gerakan Zaman Baru adalah kebangkitan kembali secara modern,...