Nama : Welianus
Gea
Sem/Jur : VI
Teologi
Mata
Kuliah : Seminar
Ilmu Agama
Dosen : Pdt.
Juliman Harefa, Th.M
EMALI DALAM PANDANGAN
ORANG NIAS
A.
Pendahuluan
Hal yang paling menakutkan bagi
orang Nias pada zaman dulu adalah emali. Emali dalam konsep orang Nias adalah pemburu kepala
manusia atau sering disebut dengan “sangai
binu”. Emali atau sangai binu ini ditakuti oleh masyarakat
karana pekerjaan yang dilakukan tersebut adalah bukan hanya sekedar mencuri
manusia, tetapi orang yang mereka curi tersebut dipenggal kepalanya dan kepala
tesebut dijadikan sebagai pendamping terhadap orang yang meninggal, dan juga
dijadikan sebagai sebuah syarat bagi pemuda yang ingin menikah, artinya bahwa
ketika seorang laki-laki hendak menikah, jujuran yang diberikan oleh laki-laki
tersebut adalah sebuah kepala musuh.
B. Pembahasan
Menurut
bapak Pastor Johanes M. Hammerle dalam wawancara mengatakan bahwa dalam mengenal
sejarah tentag emali/sangai binu, tidak terlepas dari mengenal tentang silsilah
orang Nias itu sendiri. Pada zaman dulu, ada tiga golongan yang sudah datang di
Nias, dan sekaligus mereke disebut sebagai leluhur masyarakat Nias,[1]
yaitu:
Lani Ewöna
Lani Ewöna adalah salah satu leluhur Nias yang berimigran dari Yunan, negara Cina
Selatan. Lani Ewöna telah menikahi Ono
Mbela dan Nadaoya[2]. Namun, jika
dilihat ciri-ciri fisik orang Nias saat ini, yaitu berkulit putih, bermata agak
sipit, bertubuh gempal dan pendek, pendapat inilah yang mengatakan bahwa
leluhur orang Nias berasal dari Yunan sangat beralasan, karena pada umumnya
orang-orang Cina juga memiliki ciri-ciri fisik yang sama.
Setelah
beratus-ratus tahun, bahkan bisa juga beribu-ribu tahun, nyaris tidak ada
kelompok etnis lain yang menjadi pesaing lani ewöna di Nias, mereka
menjadi satu-satunya kelompok yang berkuasa, sehingga mereka lebih leluasa
untuk mengembangkan tempat pemukiman. Orang-orang Nias mulai beranjak dari
tempat tinggal para leluhurnya di sepanjang Sungai Gomo, terutama di daerah
Börönadu (sekarang sebuah desa yang berada di Kecamatan Gomo). Hal ini dapat
dilihat dari sejarah lisan yang berkembang di Börönadu. Lani Ewöna memiliki banyak anak, diantaranya adalah
Orang-orang Gunung Sitoli yang merupakan keturunan manusia dari Börönadu yang
bernama Lase, dan juga nenek moyang orang Teluk Dalam adalah orang dari
Börönadu yang bernama Sadawamölö. Selain itu keturunannya yang lain adalah
seperti Telambanua bersama klannya pindah dari Börönadu kira-kira 40 generasi
yang lalu. La‘ia bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu.
Ndururu bersama klannya pindah dari Börönadu 36 generasi yang lalu. Zebua
bersama klannya pindah dari Börönadu 38 generasi yang lalu. Dan Hulu bersama
klannya pindah dari Börönadu 26 generasi yang lalu.
Sejak proses
persebaran tersebut, marga-marga besar di Nias mulai terbentuk, yang berujung
pada munculnya bibit-bibit persaingan dan permusuhan antar sesama orang Nias.
Bagi orang Börönadu, orang-orang yang meninggalkan Börönadu dianggap sebagai
orang yang tidak menghormati adat dan leluhur, meskipun proses perpindahan
tersebut mungkin lebih disebabkan oleh faktor-faktor pragmatis, seperti mencari
sumber kehidupan yang lebih layak menuju daerah yang lebih makmur, karena
secara geografis Börönadu memang terpencil.
Setelah
peristiwa tersebut, persaingan antar marga semakin kuat dan atmosfirnya masih
terasa hingga sekarang. Suasana interaksi antarmarga dan antarkampung diwarnai
egosentrisme, yaitu melihat marga atau kampung yang lain selalu dari perspektif
marga dan kampung sendiri. Setiap marga berusaha menampilkan dirinya sebagai
marga dengan identitas yang paling unggul. Fenomena ini sejalan dengan Teori
Identitas Sosial, yang berasumsi bahwa pada dasarnya setiap individu yang
tergabung dalam kelompok sosial tertentu cenderung akan membangga-banggakan
kelompoknya sendiri, dan menganggap kelompok yang lain lebih buruk atau rendah
Sejarah
Emali
Tradisi mangai
binu atau sebutan emali tidak dapat dipisahkan dari legenda
Awuwukha, sosok manusia yang pernah hidup di Nias pertengahan abad ke-14 M.
Cerita tentang Awuwukha adalah sebagai berikut
Kira-kira
pertengahan abad ke-14, di Börönadu hidup seorang manusia pemberani dan hebat
karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awuwukha. Awuwukha adalah
keturunan dari Lani Ewöna yang tinggal di Börönadu.[3]
Pada suatu
hari, datanglah ke Börönadu seseorang dari Susua yang menyebarkan kabar bahwa
di kampungnya akan diadakan sebuah pesta owasa yang cukup besar. Ia
berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan
harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika
melewati rumah Awuwukha, si pembawa kabar tersebut berhenti langkahnya karena
ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey, lelaki yang
kelihatan kemaluannya! Untuk apa kamu teriak-teriak seperti itu?” teriak
perempuan yang tiada lain adalah ibu Awuwukha. Bagi orang Nias, itu termasuk
ungkapan yang sangat mengejek. Si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan
kemaluannya ke tiang rumah ibu Awuwukha hingga tiang rumah gempal. Orang itu
melampiaskan kemarahannya dengan menunjukkan bahwa kemaluannya seharusnya tidak
diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi
meninggalkan Börönadu.
Selang
beberapa hari kemudian, ternyata lelaki tersebut datang lagi ke Börönadu dengan
serombongan orang untuk menuntaskan kemarahannya. Rumah Awuwukha dan tujuh
rumah saudaranya kemudian dibakar rombongan orang tersebut, termasuk lumbung
padi milik Laimba, tokoh adat masyarakat Börönadu. Awuwukha hanya bisa berdiri
mematung-- terbelalak melihat kejadian tersebut. Sambil menahan amarah yang
sudah mencapai ubun-ubun, di depan ibunya-- Awuwukha bersumpah akan menuntut
balas dengan cara memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran
tersebut. Tanpa persetujuan ibunya dan Laimba, Awuwukha nekad pergi untuk
menuntut balas ke Susua. Beberapa hari kemudian dengan langkah tenang Awuwukha
pulang dengan membawa belasan kepala manusia di dalam karung yang kemudian
ditunjukkannya pada Laimba. Ternyata Laimba tidak berkenan dengan hal itu. Ia
sebenarnya menghendaki musuhnya dibawa hidup-hidup. Laimba sadar betul bahwa
dengan kejadian tersebut pertumpahan darah pasti akan berlanjut.
Dugaan
Laimba terbukti. Penduduk Susua merencanakan pembunuhan terhadap Awuwukha, baik
secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Tapi semuanya berujung
pada kegagalan. Awuwukha terlampau kuat untuk dibunuh. Kehebatan Awuwukha
kemudian tersiar sampai ke seluruh penjuru Nias. Kehebatannya kemudian
dikukuhkan melalui upacara owasa, upacara tertinggi di masyarakat Nias.
Jika seseorang telah menunaikan owasa, maka setiap perkataannya dengan
sendirinya telah menjadi hukum. Sejak saat itu, setiap perkataan Awuwukha harus
diikuti, bahkan sampai menjelang kematiannya.[4]
Sebelum
meninggal, Awuwukha berpesan kepada anak-anak dan seluruh anggota keluarganya.
Jika ia meninggal nanti, ia ingin ditemani oleh lima orang yang akan
melayaninya kelak di alam kubur: satu orang menyiapkan minum, satu orang
menjaga, satu orang untuk menyiapkan makanan, satu orang membuat sirih pinang,
dan satu orang sebagai tukang pijat .[5]
Karena setiap perkataan Awuwukha adalah hukum, maka wajib bagi anak-anaknya
untuk mencarikan lima kepala untuk menemani penguburan Awuwukha. Hal ini
berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa
menolak wasiat leluhur. Sejak kematian Awuwukha, dugaan Laimba tidak hanya
sekedar kekhawatiran, tapi seolah-olah telah menjelma menjadi sebuah kutukan.
Sebab, mangai binu kemudian menjadi tradisi yang mengakar kuat di Nias.
Ia tidak hanya diselenggarakan untuk menghormati dan menyenangkan leluhurnya
saja, tetapi kemudian juga dipraktekkan untuk kepentingan-kepentingan lainnya,
misalnya membangun omo sebua (rumah bangsawan Nias).
Bahkan, tradisi mangai binu juga berlaku bagi kaum lelaki yang akan
meminang calon istrinya. Ia harus mempersembahkan kepala musuh kepada keluarga
calon mempelai perempuan. Semakin banyak jumlah kepala yang ditunjukkan di
depan calon mertua, maka semakin berharga lelaki tersebut. Bahkan, bukan hanya
pelakunya saja yang layak bangga, tetapi juga leluhur-leluhurnya, karena
dianggap telah berhasil melahirkan keturunan yang hebat.[6] Interkoneksi antara
kewajiban memuliakan leluhur dan keinginan menyandang identitas sosial yang
tinggi seolah-olah menjadi justifikasi bagi tradisi mangai binu di Nias.
Berbicara tentang tradisi mangai binu di Nias terasa belum lengkap
jika tidak membahas sebuah ritual yang disebut famaoso dola, atau
pengangkatan tulang-tulang kembali para leluhur. Upacara ini biasanya
berlaku bagi kaum bangsawan. Kepala orang yang diambil waktu perburuan
ditempatkan di atas kuburan bangsawan pada saat famaoso dola. Upacara
ini menggambarkan pandangan eskatologis orang Nias. Ada keyakinan yang
berkembang di Nias bahwa leluhur yang sudah mati itu akan bangkit kembali atau
akan terjadi kelahiran kembali ketika kepala-kepala hasil buruan itu
dipersembahkan.
Selain itu, menurut P.
Johannes M. Hammerle mengatakan bahwa pandangan orang Nias mengenai emali juga
disebutkan kepada orang yang membeli manusia. Dulu, menurut Pastor, ia
mengatakan bahwa pada masa pemerintahan kolonial Belanda memasuki Nias,
orang-orang Nias memperdagangkan sesamanya orang Nias. Hal ini terjadi ketika
ada sesamanya yang memiliki utang terhadap orang Nias tersebut, karena tidak
sanggup membayar utangnya, terpaksa ia sendiri atau anaknya sendiri yang akan
menjadi pelunasan terhadap utang tersebut. Pada saat itu, di Nias terkenal yang
istilah ribah uang, makanya hampir semua mereka yang memiliki utang tersebut
tidak sanggup lagi melunasi utangnya oleh karena besar bunga uangnya. Oleh
karena itu, terpaksa orang yang memiliki utang tersebut menjadi budak terhadap
orang yang meminjamkan uangnya kepada orang yang meminjam tersebut. Namun,
karena tawaran yang cukup mahal dari orang-orang Belanda, yaitu diberikan
sebuah Piring yang ada gambar naga, atau dengan memberikan firö kepada
mereka, sehingga muncullah dalam hati orang Nias untuk menjual orang yang memiliki
utang tersebut dengan mereka orang Belanda.
Menurut kesaksian Pastor, pada tahun
1830, di Penang di sebelah utara Malaysia, terdapat 30 orang Nias yang telah
memeluk agama Katolik. Orang-orang tersebut mengaku bahwa mereka adalah korban
dari emali, emali yang dimaksud adalah mereka yang telah membeli para budak
tersebut kepada majikannya di Nias. Dalam kesaksian Pastor, ia mengatakan bahwa
100 tahun yang lalu hampir semua penduduk yang tinggal disebelah utara pulau
Nias ini telah musnah, terutama mereka yang bermarga Baeha. Alasannya adalah
mereka telah di beli oleh emali.[7]
Menurut
Tuhoni Telaumbanua dalam materi perkuliahan tentang Injil dan budaya, ia
mengatakan bahwa emali (yang mebeli manusia) telah dimulai sejak abad ke-4 M.
Sistem dagang yang dilakukan adalah dengan mengunakan sistem barter, artinya
bahwa orang Nias memperdagangkan sesamanya kepada suku luar Nias, yaitu suku
Baroos. Kemudian, pada abad ke-9 M, pedangan dari Persia pernah datang ke Nias
untuk membeli manusia. Dalam materi tersebut, ia menjelaskan bahwa sejak abad
ke-11 M, telah mulai ada perdagangan dengan memakai sistem barter oleh suku
Baroos, Minang, dan suku Aceh. Mereka hendak membeli orang-orang yang hendak
dijadikan menjadi budak di luar Negri. Pada tahun 1669, Belanda telah mengikat
sebuah hubungan dagang kepada para Salawa atau Balõzi’ulu di Tanõ Niha (Nias)
untuk menjalin kerjasama, sehingga orang Belanda mendapatkan orang-orang yang
diualkan kepada mereka.[8]
Oleh sebab itu, semua mereka yang membeli manusia itu diberikan julukan sebagai
emali.
C. Analisis
Emali dalam pandangan Nias ialah ada
dua macam yaitu pemburu kepala dan yang membeli manusia dari daerah lain. Hal
inilah yang ditakut-takuti oleh orang Nias pada zaman dahulu. setalah masuknya
agama Kristen di Nias, pemburu kepala dan orang yang melakukan perdagangan
manusia mulai menipis.
Dalam ajaran Kristen, emali adalah sebuah larangan yang
dilarang oleh agama, terutama agama Kristen. Jelas bahwa dalam hukum taurat
ke-6, mengatakan bahwa jangan membunuh, terutama larangan ini merujuk kepada emali yang memburu kepala manusia. Demikian
juga dengan tradisi menjual manusia sebagai budak di luar daerah, kebiasaan
tersebut juga dilarang keras dalam Alkitab, karena yang ditekaknkan dalam
alkitab adalah bagaimana kita saling mengasihi sesama manusia, bukan menjualnya
sebagai barang yang dapat dibayar dengan benda atau uang, melainkan manusia
adalah sabagai ciptaan yang mulia di seluruh ciptaan yang lain.
Namun, walaupun pemburu kepala dan perdagangan
manusia tidak ada lagi di Nias, tetapi kejahatan manusia masih merajalela untuk
menjatuhkan sesamanya, buktinya bahwa masih ada kasus-kasus pembunuhan antar
sesama sampai saat ini. Inilah yang menjadi pergumulan kita sebagai calon hamba Tuhan, bagaimana
kita kedepan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, sehingga dampak
emali lagi tidak ada di Nias ini.
D. Penutup
Dari penjelasan diatas, maka penulis
menyimpulkan bahwa tradisi emali yang telah berkembang di Nias sebelum masuknya
injil di pulau Nias ini adalah sebuah tradisi yang mengemparkan dan menakutkan
hati masyarakat Nias. Mereka kuatir ketika mendengar bahwa salawa terutama di Nias Selatan telah meninggal dunia, atau takut
ketika mendengar ada pembangunan rumah di kalanan Nias Selatan, karena yang
menjadi korban adalah masyarakat di luar daerah Nias selatan. Namun, setelah
masuknya injil di Nias, tradisi emali tersebt mulai berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Duha, Nata’alui., Sowanua dan Nadaoya Manusia Pertama Penghuni
Nias (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2008)
Hammerle, Johannes M., Asal-Usul
Masyarakat Nias (Gunung Sitoli:
Yayasan Pusaka Nias, 2001)
Sonjaya, Melacak Batu, Menguak Mitos Antar Budaya Nias
(Jakarta: Kanisius, 2008)
Zebua, Fiktor., Jejak
Cerita Rakyat Nias, (Jakarta: Kompas Indonesia), 2008
Hasil studi banding di
Museum Pusaka Nias tanggal 25 Januari 2017 oleh P. Johanes M. Hammerle.
Materi perkuliahan oleh
Pdt. Tuhoni Telaumbanua, dalam mata kuliah Injil dan Budaya di STT BNKP
Sundermann, tahun 2017.
[1]
Berdasarkan hasil studi banding di Museum Pusaka Nias tanggal 25 Januari 2017
oleh P. Johanes M. Hammerle.
[2]
Nata’alui Duha, Sowanua dan Nadaoya
Manusia Pertama Penghuni Nias (Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias,
2008)
[3] Sonjaya,
Melacak Batu, Menguak Mitos Antar Budaya
Nias (Jakarta: Kanisius, 2008)
[4] Fiktor
Zebua, Jejak Cerita Rakyat Nias, (Jakarta:
Kompas Indonesia), 2008
[5] Sonjaya,
Op. Cit.
[6] Johannes M. Hammerle, Op. Cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar